Pertanyaan:
Bagaimana hukumnya istri yang mendoakan suami tetap miskin karena takut dipoligami?
Jawaban:
Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash shalatu wassalamu ‘ala asyrafil anbiya’ wal mursalin, nabiyyina Muhammadin, wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in, amma ba’du.
Sikap yang dilakukan sang istri tersebut adalah sikap yang kurang tepat dan termasuk akhlak yang tercela.
Pertama, doa keburukan untuk orang lain tidak diperbolehkan, pelakunya berdosa, kecuali jika mendoakan keburukan kepada orang yang zalim kepadanya.
Karena ciri orang mukmin adalah senantiasa mendoakan kebaikan untuk sesama mukmin dan meminta dihilangkan kebencian terhadap sesama mukmin. Allah ta’ala berfirman:
وَالَّذِيْنَ جَاۤءُوْ مِنْۢ بَعْدِهِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِاِخْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِالْاِيْمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِيْ قُلُوْبِنَا غِلًّا لِّلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا رَبَّنَآ اِنَّكَ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa, “Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau tanamkan kebencian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Tuhan kami, Sungguh, Engkau Maha Penyantun, Maha Penyayang”.” (QS. al-Hasyr: 10)
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz –rahimahullah– mengatakan:
الدعاء عليه سواء بالغيب أو بالشهادة كله منكر لا يجوز، إلا من باب القصاص
“Mendoakan keburukan untuk orang lain, baik ketika orangnya tidak ada, ataupun ketika orangnya ada di hadapan, semuanya adalah bentuk kemungkaran, tidak diperbolehkan. Kecuali dalam rangka qishash (membalas kezaliman).” (Syarah Shahih Muslim libni Baz, hadits nomor 2735)
Adapun orang yang berbuat kezaliman maka di antara dua pilihan, boleh dimaafkan dan ini lebih utama, dan boleh juga dibalas. Di antara bentuk pembalasan adalah dengan didoakan keburukan. Di antara dalil bolehnya orang yang dizalimi mendoakan kejelekan terhadap orang yang menzaliminya, hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
اتَّقُوا دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ، وَإِنْ كَانَ كَافِرًا، فَإِنَّهُ لَيْسَ دُونَهَا حِجَابٌ
“Waspadalah terhadap doa orang yang terzalimi, walaupun ia kafir. Karena tidak ada hijab antara ia dengan Allah.” (HR. Ahmad no.12549, dihasankan al-Albani dalam Silsilah ash-Shahihah no. 767)
Kedua, orang miskin juga bisa poligami, tidak disyaratkan untuk menjadi orang kaya raya untuk bisa poligami. Selama sang suami bisa adil terhadap para istrinya dan para istri ridha dengan nafkah yang sedikit, maka orang miskin pun bisa poligami. Sehingga alasan istri yang ada pada pertanyaan adalah alasan yang kurang kuat.
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam memiliki 11 orang istri. Sedangkan beliau hidup dalam kesederhanaan, jauh dari kemewahan atau gelimang harta. Rezeki yang beliau dapatkan hanya rezeki yang cukup untuk kehidupan sehari-hari untuk beliau dan keluarganya. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah berdoa:
اللَّهُمَّ اجْعَلْ رِزْقَ آلِ مُحَمَّدٍ قُوتًا
“Ya Allah, jadikan rezeki keluarga Muhammad berupa makanan yang secukupnya.” (HR. Muslim, no. 1055)
Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dan keluarga tidak mendapati makanan yang melimpah dalam kesehariannya. Namun hanya sekedar tidak kelaparan dan terpenuhinya kebutuhan pokok. Dari Malik bin Dinar rahimahullah, beliau mengatakan:
مَا شَبِعَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم مِنْ خُبْزٍ قَطُّ وَلاَ لَحْمٍ إِلاَّ عَلَى ضَفَفٍ
“Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tidak pernah merasakan kenyang karena makan roti atau kenyang karena makan daging, kecuali jika sedang menjamu tamu (maka beliau makan sampai kenyang).” (HR. Tirmidzi dalam asy-Syamail no. 70, dishahihkan al-Albani dalam Mukhtashar asy-Syama’il al-Muhammadiyah no. 109)
Biasanya sekali dalam dua atau tiga hari beliau dan keluarga baru merasakan kenyang. Itu pun sekedar makan roti gandum, makanan yang sangat sederhana. Aisyah radhiyallahu’anha mengatakan:
ما شبِعَ آلُ محمدٍ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم من خُبزِ بُرٍّ مَأدومٍ ثلاثةَ أيامٍ حتى لحِقَ باللهِ
“Keluarga Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam tidak pernah merasakan kenyang karena makan roti gandum yang diberi idam (semacam kuah) dalam tiga hari, sampai ia bertemu dengan Allah (wafat).” (HR. Bukhari no. 5423, Muslim no. 2970)
Jika ini dipahami, maka jelaslah bahwa kondisi miskin tidak menjadi penghalang untuk melakukan poligami.
Ketiga, daripada mendoakan keburukan lebih baik mendoakan taufik untuk suaminya. Orang yang mendapatkan taufik dari Allah ta’ala akan menjalani kehidupannya sesuai dengan syariat Allah dan sesuai dengan apa yang paling maslahat untuknya.
Sebagaimana hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
إنَّ اللَّهَ قالَ: مَن عادَى لي ولِيًّا فقَدْ آذَنْتُهُ بالحَرْبِ، وما تَقَرَّبَ إلَيَّ عَبْدِي بشيءٍ أحَبَّ إلَيَّ ممَّا افْتَرَضْتُ عليه، وما يَزالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إلَيَّ بالنَّوافِلِ حتَّى أُحِبَّهُ، فإذا أحْبَبْتُهُ: كُنْتُ سَمْعَهُ الذي يَسْمَعُ به، وبَصَرَهُ الذي يُبْصِرُ به، ويَدَهُ الَّتي يَبْطِشُ بها، ورِجْلَهُ الَّتي يَمْشِي بها، وإنْ سَأَلَنِي لَأُعْطِيَنَّهُ، ولَئِنِ اسْتَعاذَنِي لَأُعِيذَنَّهُ، وما تَرَدَّدْتُ عن شيءٍ أنا فاعِلُهُ تَرَدُّدِي عن نَفْسِ المُؤْمِنِ، يَكْرَهُ المَوْتَ وأنا أكْرَهُ مَساءَتَهُ
“Allah ta’ala berfirman: Barang siapa yang memerangi wali-Ku, maka ia mengumumkan perang terhadap-Ku. Dan ketika seorang hamba mendekatkan diri kepada-Ku, maka tidak ada yang paling Aku cintai melebihi perkara-perkara yang Aku wajibkan kepadanya. Dan ketika seorang hamba senantiasa melakukan amalan-amalan sunnah, maka aku semakin mencintainya. Dan ketika Aku mencintainya, maka Aku lah yang menjadi pendengarannya, penglihatannya, pukulan tangannya, dan langkah kakinya. Jika ia meminta kepada-Ku, akan Aku berikan. Jika ia minta perlindungan kepadaku, akan Aku lindungi. Tidaklah Aku ragu melakukan sesuatu yang mesti Aku lakukan seperti keraguan untuk (mencabut) nyawa seorang yang beriman. Dia tidak menyukai kematian dan Aku tidak ingin menyakitinya.” (HR. Bukhari no. 6502)
Orang yang mendapatkan taufik, gerak-geriknya akan senantiasa dibimbing oleh Allah, sehingga ia tidak keluar dari syariat Allah dan ia senantiasa mendapatkan apa yang baik baginya.
Jika Allah ta’ala memberi taufik kepada sang suami, dan Allah takdirkan ia poligami, maka bisa jadi itulah yang terbaik baginya. Orang yang mendapatkan taufik Allah dalam poligaminya, ia akan menjadi suami yang adil dan memuliakan semua istri-istrinya, sehingga rumah tangganya menjadi rumah tangga yang bahagia.
Jika Allah ta’ala memberi taufik kepada sang suami, dan Allah takdirkan ia tidak poligami, maka bisa jadi itulah yang terbaik baginya. Karena Allah mengetahui bahwa andaikan ia poligami, bisa jadi ia akan menjadi suami yang zalim. Sehingga dengan taufik-Nya, Allah pun menghindarkan ia dari melakukan poligami.
Maka berdoalah kepada Allah meminta taufik untuk diri sendiri dan untuk sang suami. Di antaranya dengan doa yang diajarkan di dalam al-Qur’an:
رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
“Ya Allah jadikanlah pasangan kami dan anak keturunan kami sebagai penyejuk mata kami, dan jadikanlah kami teladan bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. al-Furqan: 74)
Atau boleh juga berdoa meminta taufik dengan menggunakan bahasa sendiri, semisal mengatakan “Ya Allah berilah taufik kepada suamiku”, “Ya Allah, tunjukkanlah suamiku jalan yang lurus”, atau semisalnya.
Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik.
Was shalatu was salamu ‘ala Muhammadin, walhamdulillahi rabbil ‘alamin.
***
Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.
Artikel asli: https://konsultasisyariah.com/40424-hukum-mendoakan-kemiskinan-bagi-suami-supaya-tidak-poligami.html